Malam nan kelam begitu dingin. Dinginnya menusuk tajam tulang-tulang rapuh manusia. Aku berjalan sendiri di tengah kelamnya malam ini. Menggigil dingin sendiri di bawah derasnya hujan. Mencoba melangkah secepat mungkin agar segera tiba di rumah. Namun, langkah kakiku telah goyah bersamaan dengan tubuh yang semakin gemetar.
Sebuah tangan yang menggenggam payung hitam berdiri di sampingku. Payung hitamnya berada di atas kepalaku. Tubuhku tak lagi terkena derasnya hujan yang begitu keras.
“Bodoh.” Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya.
Pada akhirnya, aku dan dia berjalan dalam diam pada kelamnya malam. Diam-diam aku merutuki kebodohanku yang tidak membawa payung untuk pergi ke minimarket. Padahal ketika berangkat, gerimis sudah mulai turun. Tidak terasa, aku tiba di depan rumahku. Dia mengantarkanku hingga tiba di depan rumahku.
“Terima kasih,” ucapku.
Dia menatapku sekilas dan berlalu dari hadapanku. Aku masih menatapnya hingga bayangannya hilang bersama dengan payung hitam yang dibawanya.
Dia adalah seorang lelaki yang kutemui setahun lalu. Ketika dia menjadi tetangga baruku dan menjadi murid baru di kelasku. Aku dan dia tak pernah banyak berkata. Namun, dia sering membantuku di saat aku memang membutuhkannya. Aku tidak tahu mengapa ia membantuku. Padahal, selama ini aku melihatnya sebagai seorang lelaki yang dingin dan tak berekspresi.
***
Awan kelabu menggantung di langit menemani Minggu pagi. Aku berjalan menikmati angin sepoi-sepoi di sekitar kompleks perumahan. Ketika tiba di depan rumahnya yang tak jauh dari rumahku, aku melihat dia duduk ditemani secangkir teh panas di teras rumahnya. Dia sedang sibuk membaca bukunya.
Awan semakin gelap dan segera menumpahkan segala isinya. Tak lama, hujan deras di pagi hari telah mengguyur kota ini. Aku segera berlari mencari tempat berteduh. Tanpa pikir panjang, aku menerobos pagar rumahnya dan berlari ke teras. Katakanlah aku ini tidak sopan, tapi mau bagaimana lagi hujan sudah turun deras. Dia menatapku bingung masih dengan muka datarnya.
“Eh, maaf hujan turun deras. Aku hanya numpang berteduh sebentar. Maaf juga tidak sopan langsung menerobos masuk,” ucapku cengengesan.
“Bukankah kau semalam bermain hujan? Hari ini tidak lagi?” tanyanya datar dan berlalu begitu saja masuk ke rumahnya.
Aku masih terdiam meresapi ucapannya. Semalam aku bukan sengaja bermain hujan, tetapi aku yang dengan bodohnya tidak membawa payung. Tubuhku sedikit kurang sehat pagi ini, tetapi aku ingin keluar berjalan-jalan sambil menikmati cuaca mendung. Ya, tanpa aba- aba gerimis, hujan deras turun begitu saja. Sehingga, aku hanya mencoba mencari tempat berteduh terdekat yaitu rumahnya.
Aku duduk di kursi kecil pada teras rumahnya sambil memandang hujan yang semakin deras. Rasanya begitu menenangkan dan menyegarkan. Tak lama, dia keluar sambil membawa secangkir teh panas dan memberikannya padaku.
“Terima kasih,” ucapku sambil tersenyum.
Dia hanya mengangguk.
***
Sebulan telah berlalu, sejak terakhir kali dia memberiku secangkir teh panas, aku tak pernah melihatnya lagi di perumahan bahkan di sekolah sekalipun. “Kemana dia?” batinku bertanya-tanya. Beberapa hari terakhir, hujan selalu turun dan aku tak bisa berjalan mengelilingi kompleks perumahan.
Pada Minggu yang hanya menyisakan mendung, aku mencoba melewati rumahnya, tetapi rumahnya begitu sepi. Rumput-rumput mulai tumbuh tinggi mengisi halamannya. Rumahnya seperti rumah yang tak lagi ditinggali penghuninya. Aku berjalan mendekati pagar dan menekan bel rumahnya. Namun, yang kutemukan hanyalah suara bel yang menggema dalam ruang kosong.
“Orangnya sudah pindah sebulan yang lalu, Mbak,” ucap seorang ibu yang kebetulan melihatku.
“Begitu ya, Bu. Kira-kira pindah ke mana ya, Bu?” tanyaku.
“Ah, kalau itu saya kurang tahu, Mbak. Ketika pindah keadaannya sedang hujan, jadi tidak sempat bertanya-tanya.”
“Kalau begitu terima kasih infonya, Bu,” ucapku sambil tersenyum.
Aku berjalan perlahan meninggalkan rumahnya. Perkataan ibu tadi masih mengganggu pikiranku. Sebulan yang lalu? Bukankah itu hari di mana dia memberiku secangkir teh panas? Apakah pada hari itu dia pindah? Mengapa dia pindah? Mengapa dia tidak memberitahuku? Tunggu, memang aku ini siapa sampai dia harus memberitahuku. Aku menertawai diriku.
Selama aku berjalan, aku tak mengerti apa yang terjadi pada diriku. Aku merasa sesuatu hilang dari kehidupanku. Namun, realita menyadarkanku bahwa dia hanya sepintas lalu dalam hidupku. Dia hanya pernah berbicara beberapa kata saja padaku. Selebihnya, dia seorang lelaki yang diam, dingin, dan tak bisa kusentuh hatinya. Di sisi lain, dia sering membantuku dan pernah memberiku secangkir teh panas. Aku sudah nyaman dengan kehadirannya dalam hidupku saat itu. Ya, hanya saat itu karena saat ini, dia tak lagi di sini.
Aku memandang langit yang justru semakin hitam. Dalam hati aku mengucapkan beberapa kata untuknya yang aku tak tahu di mana keberadaannya.
Pada secangkir teh yang pernah kau berikan
Ketahuilah
Aku telah menyimpan sebuah rasa untukmu,
dalam setiap tegukan teh yang masuk dalam kerongkonganku
Aku pun telah membiarkan alam mengetahui rasaku,
pada setiap asap teh yang mengepul di udara
Huh. Aku pun berjalan pulang ke rumah sambil menundukkan kepalaku lesu. Aku melihat bayangan samar berjalan di dekatku.
“Musim hujan begini, jangan lupa membawa payung kalau keluar rumah.”
Tiba-tiba saja aku mendengar sebuah suara. Aku merasa mengenali suara itu. Ya, itu suaranya. Aku menegakkan kepalaku mencoba mencari tahu dari mana suara itu. Namun, di sekelilingku tak ada satu orang pun. Hanya jalan kosong. Bayangan samar yang tadi kulihat pun kini sudah menghilang diikuti tetesan hujan yang mulai turun.
***